
Armiya, Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia
Sajak Jeritan Anak Pelosok Negeri
Dalam lamunan aku menggumam
Di bilik logika kubungkam kata-kata
Karena akan percuma lengkingan suara akan berakhir parau
Yang ada hanya luka tak berdarah
Diiris sembilu pengkhianatan, ditusuk tombak ketidakadilan
Cerita demi cerita kian mengetuk gendang telinga
Cerita itu indah nan megah menarasikan kebahagian
Namun apa yang kurasakan hanya sesak mencekik kerongkongan
Air mata mengering menangisi cerita indah itu
Memaksa darah keluar mengisyarakatkan luka yang amat dalam
Luka, luka tak berdarah ini kian bernanah
terinfeksi janji yang tak kunjung pasti
Tentang janji memperbaiki gubuk reyot sekolah kami
Namun nyatanya hanya sekedar visi yang tak kunjung terealisasi
Pasrah! lantas apa selain pasrah?
Dinding-dinding sekolah kian rapuh dimakan rayap
Lantai hanya tanah berdebu
Atap hanya susunan ilalang liar
Tiang-tiang senantiasa berdansa diterpa angin rimba
Di tengah lamunan aku kembali bergumam
Menanyakan tentang janji mencerdaskan kehidupan bangsa
yang tertulis indah dalam Undang-Undang Dasar 45
Mempersoalkan tentang keadilan dalam sila kelima Pancasila
Dusta! semua itu bagaikan tipu daya yang menjerma
Luka, lagi-lagi kami terluka
Mendengar pendidikan di Ibu kota
Kian maju dimegah deretan gedung sekolah
Teknologi katanya juga sudah terbumbui
Namun, apa kabar tentang pendidikan kami;
Pendidikan anak-anak di pelosok negeri
Bagai mimpi buruk yang patut dicaci
Pasrah, sekarang hanya pasrah menanti realisasi lewat tulisan sajak ini
Tentang sebuah sajak jeritan anak pelosok negeri
Menanti mimpi tentang realiasasi janji-janji
Membangun sekolah, memperbaiki bobroknya pendidikan anak pelosok negeri
Atau bahkan menunggu hitungan hari, dimana hancurnya masa depan kami.